-->

Tasawuf Hitam Putih



Sumber: http://books.google.co.id

ReadMore......

Kisah Salman al-Farisi Mencari Kebenaran

Salman al-Farisi pada awal hidupnya adalah seorang bangsawan dari Persia yang menganut agama Majusi. Namun dia tidak merasa nyaman dengan agamanya. Pergolakan batin itulah yang mendorongnya untuk mencari agama yang dapat menentramkan hatinya.

Kisah Salman diceritakan langsung kepada seorang sahabat dan keluarga dekat Nabi Muhammad bernama Abdullah bin Abbas:

Salman dilahirkan dengan nama Persia, Rouzbeh, di kota Kazerun, Fars, Iran. Ayahnya adalah seorang Dihqan (kepala) desa. Dia adalah orang terkaya di sana dan memiliki rumah terbesar.

Ayahnya menyayangi dia, melebihi siapa pun. Seiring waktu berlalu, cintanya kepada Salman semakin kuat dan membuatnya semakin takut kehilangan Salman. Ayahnya pun menjaga dia di rumah, seperti penjara.

Ayah Salman memiliki sebuah kebun yang luas, yang menghasilkan pasokan hasil panen berlimpah. Suatu ketika ayahnya meminta dia mengerjakan sejumlah tugas di tanahnya. Tugas dari ayahnya itulah yang menjadi awal pencarian kebenaran.

"Ayahku memiliki areal tanah subur yang luas. Suatu hari, ketika dia sibuk dengan pekerjaannya, dia menyuruhku untuk pergi ke tanah itu dan memenuhi beberapa tugas yang dia inginkan. Dalam perjalanan ke tanah tersebut, saya melewati gereja Nasrani. Saya mendengarkan suara orang-orang shalat di dalamnya. Saya tidak mengetahui bagaimana orang-orang di luar hidup, karena ayahku membatasiku di dalam rumahnya! Maka ketika saya melewati orang-orang itu (di gereja) dan mendengarkan suara mereka, saya masuk ke dalam untuk melihat apa yang mereka lakukan."

"Ketika saya melihat mereka, saya menyukai salat mereka dan menjadi tertarik terhadapnya (yakni agama). Saya berkata (kepada diriku), 'Sungguh, agama ini lebih baik daripada agama kami'".

Salman memiliki pemikiran yang terbuka, bebas dari taklid buta. "Saya tidak meninggalkan mereka sampai matahari terbenam. Saya tidak pergi ke tanah ayahku."

Dan ketika pulang, ayahnya bertanya. Salman pun menceritakan bertemu dengan orang-orang Nasrani dan mengaku tertarik. Ayahnya terkejut dan berkata: "Anakku, tidak ada kebaikan dalam agama itu. Agamamu dan agama nenek moyangmu lebih baik."

"Tidak, agama itu lebih baik dari milik kita," tegas Salman.

Ayah Salman pun bersedih dan takut Salman akan meninggalkan agamanya. Jadi dia mengunci Salman di rumah dan merantai kakinya.

Salman tak kehabisan akan dan mengirimkan sebuah pesan kepada penganut Nasrani, meminta mereka mengabarkan jika ada kafilah pedagang yang pergi ke Suriah. Setelah informasi didapat, Salman pun membuka rantai dan kabur untuk bergabung dengan rombongan kafilah.

Ketika tiba di Suriah, dia meminta dikenalkan dengan seorang pendeta di gereja. Dia berkata: "Saya ingin menjadi seorang Nasrani dan memberikan diri saya untuk melayani, belajar dari anda, dan salat dengan anda."

Sang pendeta menyetujui dan Salman pun masuk ke dalam gereja. Namun tak lama kemudian, Salman menemukan kenyataan bahwa sang pendeta adalah seorang yang korup. Dia memerintahkan para jemaah untuk bersedekah, namun ternyata hasil sedekah itu ditimbunnya untuk memperkaya diri sendiri.

Ketika pendeta itu meninggal dunia dan umat Nasrani berkumpul untuk menguburkannya, Salman mengatakan bahwa pendeta itu korup dan menunjukkan bukti-bukti timbunan emas dan perak pada tujuh guci yang dikumpulkan dari sedekah para jemaah.

Setelah pendeta itu wafat, Salman pun pergi untuk mencari orang saleh lainnya, di Mosul, Nisibis, dan tempat lainnya.

Pendeta yang terakhir berkata kepadanya bahwa telah datang seorang nabi di tanah Arab, yang memiliki kejujuran, yang tidak memakan sedekah untuk dirinya sendiri.

Salman pun pergi ke Arab mengikuti para pedagang dari Bani Kalb, dengan memberikan uang yang dimilikinya. Para pedagang itu setuju untuk membawa Salman. Namun ketika mereka tiba di Wadi al-Qura (tempat antara Suriah dan Madinah), para pedagang itu mengingkari janji dan menjadikan Salman seorang seorang budak, lalu menjual dia kepada seorang Yahudi.

Singkat cerita, akhirnya Salman dapat sampai ke Yatsrib (Madinah) dan bertemu dengan rombongan yang baru hijrah dari Makkah. Salman dibebaskan dengan uang tebusan yang dikumpulkan oleh Rasulullah SAW dan selanjutnya mendapat bimbingan langsung dari beliau.

Betapa gembira hatinya, kenyataan yang diterimanya jauh melebihi apa yang dicita-citakannya, dari sekadar ingin bertemu dan berguru menjadi anugerah pengakuan sebagai muslimin di tengah-tengah kaum Muhajirin dan kaum Anshar yang disatukan sebagai saudara.

Kisah kepahlawanan Salman yang terkenal adalah karena idenya membuat parit dalam upaya melindungi kota Madinah dalam Perang Khandaq. Ketika itu Madinah akan diserang pasukan Quraisy yang mendapat dukungan dari suku-suku Arab lainnya yang berjumlah 10.000 personel. Pemimpin pasukan itu adalah Abu Sufyan. Ancaman juga datang dari dalam Madinah, di mana penganut Yahudi dari Bani Quradhzah akan mengacau dari dalam kota.

Rasulullah SAW pun meminta masukan dari sahabat-sahabatnya bagaimana strategi menghadapi mereka. Setelah bermusyawarah akhirnya saran Salman Al Farisi atau yang biasa dipanggil Abu Abdillah diterima. Strategi Salman memang belum pernah dikenal oleh bangsa Arab pada waktu itu. Namun atas ketajaman pertimbangan Rasulullah SAW, saran tersebut diterima.

Atas saran Salman itulah perang dengan jumlah pasukan yang tak seimbang dimenangkan kaum Muslimin.

Setelah meninggalnya Nabi Muhammad, Salman dikirim untuk menjadi gubernur di daerah kelahirannya, hingga dia wafat.

http://ramadan.okezone.com/

ReadMore......

Kabayan dan Abu Nawas Membahas Matematika

Di suatu tempat Kabayan bertemu Abu Nawas untuk membahas masalah matematika.
Kabayan : “Abah Abu, sebenarnya saya ini bukan ahli matematika nih. Cuma, saya diundang berseminar matematika di sini. Menurut Abah Abu, saya harus bagaimana nih?”
Abu Nawas : “Kang Kabayan, memangnya materi apa yang akan disampaikan pada seminar kali ini?”
Kabayan : “Sebenarnya sih sederhana saja, panitia meminta saya menyampaikan tentang persamaan. Cuma mereka minta agar persamaan itu tak dibahas secara matematis, tapi dengan cara-cara yang sederhana (kalau bisa sih lucu) dan mudah dipahami oleh orang-orang biasa. Makanya saya ikut seminar ini. Kalau diminta membahas secara matematis sih, wah saya tak sanggup deh....”
Abu Nawas : “Oh begitu ya...? Coba nih saya tanya, kira-kira Kang Kabayan menyelesaikan persamaan (8-x)/3 + 2 = 4 ini bagaimana?”
Kabayan : “Secara matematis yang tepat sih, saya tak bisa menjelaskannya. Mungkin saya akan ditertawakan oleh para matematikawan-matematikawan itu. Saya bisanya dengan kata-kata saja..., dengan cara saya, seperti yang diminta panitia.”
Abu Nawas: “Memangnya bagaimana? Saya juga tak mengerti bila diminta menjelaskan secara matematis. Soal tadi itu juga saya dapatkan dari kawan saya yang bertanya ke saya, dan saya tak bisa menjelaskannya secara matematis. Coba deh, menurutmu bagaimana cara penyelesaian persamaan tersebut?”
Kabayan : “Ah, Abah Abu merendah saja....”
Abu Nawas: “Serius! Saya benar-benar tidak bisa.” (kali ini tampak wajah Abu Nawas terlihat serius)Kabayan : “Baiklah kalau begitu. Begini menurut saya, persamaan itu saya ibaratkan sebuah timbangan dengan “dua tangan”. Tanda sama dengan berarti seimbang.” Abu Nawas menyimak Kabayan dengan sungguh-sungguh.
Kabayan: “Berarti, untuk menyelesaikan persamaan tersebut ((8-x)/3 + 2 = 4), mudahnya begini saja. Saya ibaratkan 4 itu empat buah semangka berukuran sama yang terletak di sebelah kanan timbangan. Dan di sebelah kiri, (8-x)/3 + 2 itu berarti banyaknya semangka yang saya sendiri belum tahu berapa banyaknya ditambah dua semangka.” (Yang dimaksud Kabayan dengan banyaknya semangka yang ia belum tahu berapa banyaknya adalah (8-x)/3 ).
Abu Nawas: “Ya... ya ..., terus?”
Kabayan: “Nah, karena di sebelah kiri sudah jelas ada 2 semangka dan sebelah kanan ada 4 semangka, berarti bagian yang saya belum tahu ((8-x)/3 ) itu sebenarnya berjumlah 2 buah semangka. Jadinya, saya bisa tulis (8-x)/3 = 2.” Kabayan tampak terdiam beberapa saat, memperhatikan persamaan baru ((8-x)/3 = 2) yang diperolehnya. Kemudian, segera setelah itu ia melanjutkan penjelasannya....
Kabayan: “(8-x)/3 = 2, artinya banyaknya suatu semangka (8-x) bila dibagi 3 sama saja dengan 2. Berarti banyaknya semangka tersebut pasti adalah 6. Makanya berarti 8-x = 6.” Belum sempat melanjutkan penjelasannya, Abu Nawas segera berseru dan mengatakan begini.
Abu Nawas: “Saya mengerti, saya mengerti.... Jadinya, karena 8-x = 6, artinya delapan semangka dikurangi berapa semangka (nilai x) hasilnya 6 kan? Pasti banyaknya semangka itu (di persamaan ini diberi symbol x) adalah 2, benar kan?”
Kabayan: “Ya benar.... Tuh kan, Abah Abu cuma merendah saja....”
Abu Nawas: “Ah *engga* juga, kamu benar-benar bagus penjelasannya. Makanya saya gampang mengerti.”

Abu Nawas tertawa gembira, karena ia mengerti penjelasan Kabayan. Kemudian, ia pun bercerita pada Kabayan bahwa ia diundang ke seminar ini pun bukan karena ia mengerti matematika. Tapi, ia diminta panitia untuk menjelaskan sastra (bahasa) terkait dengan matematika. Karena katanya, Matematika itu adalah bahasa juga, tapi berupa bahasa symbol.

Abu Nawas: “Sekarang saya jadi mengerti persamaan itu apa. Ini memudahkan saya untuk bercerita tentang matematika sebagai bahasa symbol nanti siang”, begitu kata Abu Nawas dengan nada optimis.
Kabayan: “Sekarang, gantian saya yang mau bertanya nih sama Abah Abu....”
Abu Nawas: “Ah kang Kabayan, jangan nanya yang susah-susah ya...?”
Kabayan: “Justru ini pertanyaan susah yang belum bisa saya jawab. Begini ceritanya, seminggu yang lalu presiden memberi potongan hukuman bagi para tahanan. Bahwa semua tahanan diberi potongan berupa setengah dari masa hukuman yang harus dijalani tiap tahanan tersebut. Untuk tahanan yang dihukum 10 tahun, karena dipotong setengahnya, jadinya ia cuma tinggal menjalani hukuman 5 tahun saja. Bila seorang tahanan dihukum 20 tahun, karena dipotong setengahnya jadinya tinggal 10 tahun saja. Begitu seterusnya. Ketetapan ini sudah diputuskan oleh presiden dan tak bisa diubah!”
Abu Nawas: “Terus, masalahnya apa?”
Kabayan: “Ini sebenarnya masalah matematika juga, cuma matematikawan-matematikawan di negeri saya tak ada yang sanggup menjawabnya. Masalahnya begini, karena ada tahanan yang dihukum seumur hidup (sampai sang tahanan tersebut meninggal), artinya kan harus ditentukan berapa lama sisanya ia akan dihukum? Padahal tak ada yang tahu kapan seseorang itu meninggal. Tak ada yang tahu berapa lama umur seseorang itu. Masalah ini jadi heboh di seluruh Indonesia dikarenakan presiden dengan ceroboh menetapkan kebijakannya tersebut. Belum ada yang bisa memecahkannya. Paranormal seperti dukun, tukang ramal nasib, tukang tenung, mentalist (semisal Dedi Corbuzier) dan sebangsanya itu tak bisa memecahkannya. Cendekiawan yang terkenal cerdik pun semisal Gus Dur dibikin repot karenanya (padahal Gus Dur terkenal dengan perkataannya, “Gitu aja kok repot.” Tapi, kali ini benar-benar ia repot dibuatnya). Para matematikawan pun yang pintar-pintar itu angkat tangan mencari solusinya. Dan ini menjadi isu nasional. Jadi, bagaimana Abah Abu menyelesaikannya?”
Abu Nawas: “Ooooh begitu ya? Berat juga masalahnya kalau begitu. Tapi, beri saya waktu sepuluh menit saja, saya habiskan dulu ya makanan saya....” Kabayan pun mempersilakan Abu Nawas menghabiskan makanannya. Sambil makan, tampak Abu Nawas berfikir dengan serius. Dan, segera setelah habis makanannya, tampak cerialah wajah Abu Nawas, pertanda ia punya pemecahan masalah tersebut.
Abu Nawas: “Hahaa.... Menurut saya begini saja, masalah ini bisa diselesaikan dengan konsep persamaan yang telah kamu jelaskan tadi....”
Kabayan: “Oh ya...? Bagaimana?”
Abu Nawas: “Karena persamaan itu menurutmu berarti seimbang, atau keseimbangan, masalah pemotongan masa hukuman tersebut ya mudah saja diselesaikan. Begini caranya, supaya orang yang dihukum seumur hidup itu dapat potongan hukuman setengah masa hidupnya, cara menghukumnya begini saja. Sehari ia ditahan, sehari ia dibebaskan, begitu seterusnya hingga ia meninggal. Seimbang bukan, seperti persamaan kan?”
Kabayan: “Subhanallah, Alhamdulillah... benar-benar penyelesaian yang sangat cantik, dan sesuai konsep persamaan. Luar biasa, luuuuuuuuuuuuar biasa! Saya bersyukur bisa bertemu Abah Abu di tempat ini. Terimakasih ya Abah Abu....”

http://ketawa.com/

ReadMore......

Nabi Nuh, Lebih dari 950 Tahun Berdakwah


Nabi Nuh AS, adalah Rasul yang diutus Allah SWT ke muka bumi. Ia berdakwah selama 950 tahun lebih. Ia juga manusia pertama yang berhasil membuat perahu. Ketika Allah SWT menurunkan azab banjir bandang, semua penghuni jagad raya ini lenyap, kecuali yang ikut berlayar bersama Nabi Nuh AS.

Nabi Nuh AS adalah keturunan yang ke 10 dari Nabi Adam AS. Nabi Nuh diutus Allah SWT untuk menyeru umat manusia agar menyembah Allah, dan melarang menyembah kepada selain Allah.

Semua nabi beriman kepada Allah SWT sebelum mereka diutus. Di antara mereka ada yang mencari Allah SWT seperti Nabi Ibrahim AS, ada juga di antara mereka yang beriman kepada-Nya dari lubuk hati yang paling dalam, seperti Nabi Musa AS, dan di antara mereka ada juga yang beribadah kepada-Nya dan menyendiri di Gua Hira, seperti Nabi Muhammad SAW.Lalu bagaimana dengan Nabi Nuh AS. Nabi Nuh adalah manusia yang mengingat dengan baik perjanjian Allah SWT dengan Nabi Adam dan anak-anaknya, ketika Allah SWT menciptakan mereka. Berdasarkan fitrah, ia beriman kepada Allah sebelum pengutusannya kepada manusia.

Namun ada sebab lain yang berkenaan dengan kebesaran Nabi Nuh As. Ketika ia bangun, tidur, makan, minum atau mengenakan pakaian, masuk atau keluar, ia selalu bersyukur kepada Allah, dan memuji-Nya, serta mengingat nikmat-Nya dan selalu bersyukur kepada-Nya.

Allah mengisahkan Nuh AS, sesungguhnya dia adalah hamba yang banyak bersyukur (Al-Isra’ ayat 3). Allah memilih hambanya yang bersyukur dan mengutusnya sebagai Nabi kepada kaumnya. Nabu Nuh keluar menuju kaumnya dan memulai dakwahnya.

Ibnu Katsir menulis dalam kitabnya Qishashul Ambiya, Nabi Nuh AS diutus pada kaumnya bernama Bani Rasib. Hal yang sama disebutkan oleh Ibnu Jubair dan yang lainnya.

Pada saat itu, kaum Nabi Nuh berada dalam puncak kesesatan yang nyata. Tenggelam dalam kekafiran dan kemunafikan. Mereka menyembah patung atau berhala.

Dakwah Nabi Nuh AS

perahu-nabi-nuh-as

Setelah Allah menetapkan sebagai utusan pembawa Risalah atau Hidan, maka keluarlah Nabi Nuh AS menemui kaumnya. Ia menyerukan kepada kaumnya. “Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada tuhan bagimu selain Dia. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar.” (QS Al-A’raf: 59).

Dengan kalimat yang singkat tersebut Nabi Nuh menjelaskan kepada kaumnya hakikat ketuhanan dan hakekat kebangkitan kepada kaumnya. Di sana hanya ada satu pencipta yang berhak disembah. Di sana terdapat kematian, kemudian kebangkitan, kemudian kiamat, hari besar yang didalamnya terdapat siksaan yang besar pula.

Nabi Nuh AS menjelaskan kepada kaumnya, mustahil ada tuhan selain Allah yang maha Pencipta. Ia memberikan pengertian kepada mereka, setan telah lama menipu mereka dan telah tiba waktunya untuk menghentikan tipuan ini. Nabi Nuh AS juga menyampaikan, Allah SWT telah memuliakan manusia. Dia telah menciptakan mereka, memberi mereka rezeki dan menganugrahi akal.

Dakwah Nabi Nuh AS ternyata tidak berkenan di hati kaumnya. bahkan sebagian besar kaumnya mengolok-oloknya, dengan mengatakan, Nabi Nuh adalah seorang pembohong dan ajakannya tak perlu diikuti. Sebab, dimata kaumnya, Nabi Nuh bukanlah siapa-siapa, ia hanyalah manusia biasa, dan bukan dari golongan kaum bangsawan.

Maka terbelahlah kaum Nabi Nuh menjadi beberapa golongan, kelompok orang yang lemah, orang fakir dan orang yang menderita di mana kelompok ini adalah mereka yang merasa dilindungi dengan apa yang disampaikan oleh Nabi Nuh. Dan satu lagi kelompok orang kaya, orang-orang kuat dan bangsawan penguasa.

Kelompok inilah yang kemudian menjadi penentang bagi dakwah yang disampaikan oleh Nabi Nuh. Bahkan kelompok ini kemudian menyusun rencana untuk melakukan serangan kepada Nabi Nuh, dengan melancarkan tuduhan, Bahwa Nabi Nuh adalah seorang pembohong.

Selanjutnya para pembesar dari kaum Nabi Nuh menggunakan dalih, Nabi Nuh adalah manusia biasa seperti mereka. Karenanya dakwahnya tak perlu di ikuti. “Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami” (QS. Hud: 27).

Tidak hanya itu, para penguasa bahkan mengejeknya, dengan mengatakan, “Kami tidak melihat orang-orang yang mengikutimu, melainkan orang-orang yang hina dina diantara kami yang lekas saja percaya, dan kami kira kamu tidak memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang yang berdusta.” (QS. Hud: 17)

Lebih dari 950 Tahun

Namun bukanlah seorang Nabi, bukan pula seorang utusan Allah, bila mudah putus asa. Nabi Nuh dengan penuh ketabahan menerima semua cercaan dan ejekan itu sebagai sebuah ujian dan konsekwensi dari tugas kerasulannya. Beliau tetap melanjutkan dakwahnya di tengah-tengah kaumnya.

Waktu demi waktu, hari demi hari, dan tahun demi tahun, berlalulah masa yang panjang itu. Nabi Nuh tetap mengajak kaumnya, siang dan malam, dengan sembunyi maupun dengan terang-terangan. Bahkan ia memberikan contoh kepada mereka, memberikan penjelasan mengenai tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah SWT di dunia ini.

Namun setiap kali Nabi Nuh mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT. Mereka lari darinya, setiap kali Nabi Nuh menyeru agar Allah mengampuni mereka. Kaum Nabi Nuh justru meletakkan jar-jari mereka di telinga-telinga mereka, dengan kesombongan dan kecongkakan yang tinggi mereka mengolok-olok Nabi Nuh AS.

Mendapat hinaan yang bertubi-tubi, Nabi Nuh tetap berupaya meyakinkan kaumnya, dengan mengatakan “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu, jika aku mempunyai bukti-bukti yang nyata dari Tuhanku, dan diberinya aku ramat dari sisi-Nya, tetapi rahmat itu disamarkan bagimu? Apa akan kami paksakan kamu menerimanya, padahal kamu tidak menyukainya? (QS. Hud: 28).

Mendengar seruan Nabi Nuh demikian, para pemuka dari kaumnya berkata, “Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan nyata.” (QS. Al-A’raf: 60). Nabi Nuh pun menjawab dengan menggunakan bahasa yang sopan dan santun, bahasa para Nabi yang agung.

“Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikit pun, aku adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku sampaikan kepadamu amanah-amanah Tuhanku dan aku memberi nasehat kepadamu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu ketahui.” (QS, Al-A’raf: 61-62)

Nabi Nuh tetap melanjutkan dakwahnya di tengah-tengah kaumnya selama ratusan tahun. Sayangnya jumlah kaum mukminin tidak bertambah, sedangkan jumlah kaum kafir justru bertambah. Nabi Nuh sangat sedih, namun ia tidak sampai putus harapan. Ia tetap menjaga harapan selama 950 tahun.

Datanglah hari di mana Allah SWT mewahyukan kepada Nabi Nuh bahwa orang-orang yang beriman dari kaumnya tidak akan bertambah lagi. Allah mewahyukan kepadanya agar ia tidak bersedih atas tindakan mereka. Maka saat itu Nabi Nuh berdoa agar orang-orang kafir dihancurkan. “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun diantara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.” (QS. Nuh: 27).

Nabi Nuh memanjatkan doanya dengan alasan, “Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak-anak yang berbuat maksiat dan kafir (QS. Nuh: 27)Lalu bagaimana dengan Nabi Nuh AS. Nabi Nuh adalah manusia yang mengingat dengan baik perjanjian Allah SWT dengan Nabi Adam dan anak-anaknya, ketika Allah SWT menciptakan mereka. Berdasarkan fitrah, ia beriman kepada Allah sebelum pengutusannya kepada manusia.

Namun ada sebab lain yang berkenaan dengan kebesaran Nabi Nuh As. Ketika ia bangun, tidur, makan, minum atau mengenakan pakaian, masuk atau keluar, ia selalu bersyukur kepada Allah, dan memuji-Nya, serta mengingat nikmat-Nya dan selalu bersyukur kepada-Nya.

Allah mengisahkan Nuh AS, sesungguhnya dia adalah hamba yang banyak bersyukur (Al-Isra’ ayat 3). Allah memilih hambanya yang bersyukur dan mengutusnya sebagai Nabi kepada kaumnya. Nabu Nuh keluar menuju kaumnya dan memulai dakwahnya.

Ibnu Katsir menulis dalam kitabnya Qishashul Ambiya, Nabi Nuh AS diutus pada kaumnya bernama Bani Rasib. Hal yang sama disebutkan oleh Ibnu Jubair dan yang lainnya.

Pada saat itu, kaum Nabi Nuh berada dalam puncak kesesatan yang nyata. Tenggelam dalam kekafiran dan kemunafikan. Mereka menyembah patung atau berhala.

Dakwah Nabi Nuh AS

perahu-nabi-nuh-as

Setelah Allah menetapkan sebagai utusan pembawa Risalah atau Hidan, maka keluarlah Nabi Nuh AS menemui kaumnya. Ia menyerukan kepada kaumnya. “Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada tuhan bagimu selain Dia. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar.” (QS Al-A’raf: 59).

Dengan kalimat yang singkat tersebut Nabi Nuh menjelaskan kepada kaumnya hakikat ketuhanan dan hakekat kebangkitan kepada kaumnya. Di sana hanya ada satu pencipta yang berhak disembah. Di sana terdapat kematian, kemudian kebangkitan, kemudian kiamat, hari besar yang didalamnya terdapat siksaan yang besar pula.

Nabi Nuh AS menjelaskan kepada kaumnya, mustahil ada tuhan selain Allah yang maha Pencipta. Ia memberikan pengertian kepada mereka, setan telah lama menipu mereka dan telah tiba waktunya untuk menghentikan tipuan ini. Nabi Nuh AS juga menyampaikan, Allah SWT telah memuliakan manusia. Dia telah menciptakan mereka, memberi mereka rezeki dan menganugrahi akal.

Dakwah Nabi Nuh AS ternyata tidak berkenan di hati kaumnya. bahkan sebagian besar kaumnya mengolok-oloknya, dengan mengatakan, Nabi Nuh adalah seorang pembohong dan ajakannya tak perlu diikuti. Sebab, dimata kaumnya, Nabi Nuh bukanlah siapa-siapa, ia hanyalah manusia biasa, dan bukan dari golongan kaum bangsawan.

Maka terbelahlah kaum Nabi Nuh menjadi beberapa golongan, kelompok orang yang lemah, orang fakir dan orang yang menderita di mana kelompok ini adalah mereka yang merasa dilindungi dengan apa yang disampaikan oleh Nabi Nuh. Dan satu lagi kelompok orang kaya, orang-orang kuat dan bangsawan penguasa.

Kelompok inilah yang kemudian menjadi penentang bagi dakwah yang disampaikan oleh Nabi Nuh. Bahkan kelompok ini kemudian menyusun rencana untuk melakukan serangan kepada Nabi Nuh, dengan melancarkan tuduhan, Bahwa Nabi Nuh adalah seorang pembohong.

Selanjutnya para pembesar dari kaum Nabi Nuh menggunakan dalih, Nabi Nuh adalah manusia biasa seperti mereka. Karenanya dakwahnya tak perlu di ikuti. “Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami” (QS. Hud: 27).

Tidak hanya itu, para penguasa bahkan mengejeknya, dengan mengatakan, “Kami tidak melihat orang-orang yang mengikutimu, melainkan orang-orang yang hina dina diantara kami yang lekas saja percaya, dan kami kira kamu tidak memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang yang berdusta.” (QS. Hud: 17)

Lebih dari 950 Tahun

Namun bukanlah seorang Nabi, bukan pula seorang utusan Allah, bila mudah putus asa. Nabi Nuh dengan penuh ketabahan menerima semua cercaan dan ejekan itu sebagai sebuah ujian dan konsekwensi dari tugas kerasulannya. Beliau tetap melanjutkan dakwahnya di tengah-tengah kaumnya.

Waktu demi waktu, hari demi hari, dan tahun demi tahun, berlalulah masa yang panjang itu. Nabi Nuh tetap mengajak kaumnya, siang dan malam, dengan sembunyi maupun dengan terang-terangan. Bahkan ia memberikan contoh kepada mereka, memberikan penjelasan mengenai tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah SWT di dunia ini.

Namun setiap kali Nabi Nuh mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT. Mereka lari darinya, setiap kali Nabi Nuh menyeru agar Allah mengampuni mereka. Kaum Nabi Nuh justru meletakkan jar-jari mereka di telinga-telinga mereka, dengan kesombongan dan kecongkakan yang tinggi mereka mengolok-olok Nabi Nuh AS.

Mendapat hinaan yang bertubi-tubi, Nabi Nuh tetap berupaya meyakinkan kaumnya, dengan mengatakan “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu, jika aku mempunyai bukti-bukti yang nyata dari Tuhanku, dan diberinya aku ramat dari sisi-Nya, tetapi rahmat itu disamarkan bagimu? Apa akan kami paksakan kamu menerimanya, padahal kamu tidak menyukainya? (QS. Hud: 28).

Mendengar seruan Nabi Nuh demikian, para pemuka dari kaumnya berkata, “Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan nyata.” (QS. Al-A’raf: 60). Nabi Nuh pun menjawab dengan menggunakan bahasa yang sopan dan santun, bahasa para Nabi yang agung.

“Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikit pun, aku adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku sampaikan kepadamu amanah-amanah Tuhanku dan aku memberi nasehat kepadamu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu ketahui.” (QS, Al-A’raf: 61-62)

Nabi Nuh tetap melanjutkan dakwahnya di tengah-tengah kaumnya selama ratusan tahun. Sayangnya jumlah kaum mukminin tidak bertambah, sedangkan jumlah kaum kafir justru bertambah. Nabi Nuh sangat sedih, namun ia tidak sampai putus harapan. Ia tetap menjaga harapan selama 950 tahun.

Datanglah hari di mana Allah SWT mewahyukan kepada Nabi Nuh bahwa orang-orang yang beriman dari kaumnya tidak akan bertambah lagi. Allah mewahyukan kepadanya agar ia tidak bersedih atas tindakan mereka. Maka saat itu Nabi Nuh berdoa agar orang-orang kafir dihancurkan. “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun diantara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.” (QS. Nuh: 27).

Nabi Nuh memanjatkan doanya dengan alasan, “Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak-anak yang berbuat maksiat dan kafir (QS. Nuh: 27)

http://www.sufiz.com

ReadMore......

Sholat Syari’at & Sholat Thoriqoh

 Syeikh Abdul Qodir al-Jilany

Sholat Syari’ah, anda sudah tahu ayat: “Peliharalah sholat-sholat…” (Al-Baqoroh: 238)
yang disana tentu ada rukun-rukun sholat secara lahiriyah dengan gerakan-gerakan jasmani, seperti berdiri, ruku’, sujud, duduk, suara dan lafadz yang diucapkan. Semua itu masuk dalam ayat, “Peliharalah….”

Sedangkan Sholat Thoriqoh, adalah sholatnya qalbu, yaitu sholat yang diabadikan. Dalam ayat itu berlanjut :
“Dan sholat yang di tengah..”

atau disebut sebagai Sholat Wustho, yaitu sholatnya qalbu, karena qalbu itu diciptakan posisinya di tengah, antara kanan dan kiri, antara bawah dan atas, antara bahagia dan sengsara, sebagaimana sabda Nabi Saw, :
“Qalbu berada diantara dua Jemari dari Jemari-jemari
Ar-Rahman, dimana Allah membolak-balikkannya semauNya…” (Hr. Muslim, dan juga dikutip oleh Al-Ghazali dalam Al-Ihya’).

Yang dimaksud dengan Dua Jemari adalah dua sifatNya, Al-Qahr (Yang Maha Memaksa) dan Al-Luthf (Yang Maha Lembut), sebab Allah Maha Suci dari Jemari-jemari. Maka menjadi jelas maksud ayat tersebut adalah Sholat Qalbu. Apabila Sholat Qalbu rusak, maka Sholatnya pun rusak termasuk sholat jasmaninya, sebagaimana hadits Nabi Saw, “Tidak ada sholat melainkan dengan hati yang hadir
di hadapan Allah.Orang yang sholat bermunajat kepada Tuhannya, dan tempat munajat itu qalbu (hati). Jika hatinya alpa, maka rusak pula sholatnya. Hati adalah pokoknya, yang lain hanyalah pengikutnya, sebagaimana dalam hadits Nabi Saw. “ Ingatlah! Sesungguhnya dalam jasad itu ada segumpal daging, apabila ia bagus maka bagus pula seluruh jasadnya, dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya. Ingatlah, daging itu adalah qalbu…” (Hr. Bukhori).

Sholat syariat itu ada waktunya, setiap hari dan malam, lima kali. Disunnahkan berjama’ah di masjid dan harus menghadap Ka’bah, mengikuti iman, tanpa ada sikap pamer dan popularitas.

Sedangkan Sholat Thoriqoh itu adalah Dzikrullah sepanjang hidup. Masjidnya adalah qalbunya. Jama’ahnya adalah perkumpulan kekuatan-kekuatan batin, untuk sibuk terus menerus mengingat Nama-nama Allah dan mentauhidkan Allah dengan lisan batin. Imamnya adalah rasa rindu dalam spirit qalbu (Fuad). Dan kibaltnya adalah Al-Hadrah al-Ahadiyah (Manunggal hamba-Allah dalam KeesaanNya) dan Keindahan ShomadiyahNya, itulah kiblat Hakikat.
Qalbu dan Ruh sibuk dengan sholat Thariqat ini sepanjang zaman. Karena Qalbu tidak mati dan tidak tidur. Ia sibuk dalam tidur dan jaga dengan kehidupan qalbu, tanpa suara, tanpa berdiri dan tanpa duduk. Itulah yang disebut oleh Allah swt:
“Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami memohon pertolongan…” (Al-Fatihah, 5)

Mengikuti Jejak Nabi Saw
Dalam Tafsir Al-Baidhowi, Anwarut Tanzil wa Asdrorut Ta’wil, beliau mengatakan, “Dalam ayat tersebut ada isyarat bagi orang yang ma’rifat kepada Allah, dan transformasinya dari kondisi dimana ia tidak hadir jiwanya menjadi hadir di hadapan Allah Ta’ala. Maka ia berhak mendapatkan tugas ini, sebagaimana sabda Rasululllah saw: “Para Nabi dan para wali senantiasa sholat dalam kuburnya sebagaimana mereka sholat di rumah-rumah mereka.”

Maksudnya mereka terus sibuk bersama Allah dan munajat bagi kehidupan qalbunya. Bila Sholat Syariat dan Sholat Thoriqoh telah berpadu, lahir dan batin, maka sempurnalah sholatnya, dan meraih pahala yang agung dalam taqarrub dengan alam ruhaninya. Dan dia juga meraih derajat jasmaniyah, lalu si hamba menjadi seorang ‘abid secara dzohir, dan ‘arif secara batin.

Jika seseorang tidak berhasil sholat Thoriqoh dengan hati yang hidup, maka ia tergolong tidak sempurna, dan pahalanya tidak sampai pada derajat taqarrub kepada Allah Ta’ala.

sumber : http://www.sufinews.com/

ReadMore......