-->

Do'a ku di Hari yang Fitri




Ya Allah... berikan aku cinta
yang melebihi keagungan cinta dan
memberikan rasa aman serta penjagaan dari
seorang ibu kepada anaknya
yang dengannya aku bangkit dari kefuturan (kelemahan iman)
yang membuka pintu hidayah dalam setiap langkahku
yang memberikan kesabaran atas segala ujian dan cobaan
yang menguatkan tawakal atas segala penderitaan
yang memberikan senyuman dan tawa dari setiap kesedihan
yang menumbuhkan kesyukuran atas segala ni'mat dan pemberian
yang menjaga diri dari kemaksiatan karena rasa malu dan khauf (ketakutan)
yang menjadi penghibur dan teman setia dari keterasingan dunia
yang menggelorakan semangat jihad dan pengorbanan
yang membenamkan diri dalam lautan dzikir
yang menjadikan kemuliaan dalam penjagaan Qur'an dan Sunnah

Ya Allah... berikan aku cinta
cintanya para anbiya -'alahis salam-
cintanya para shahabat -rodiyallahu anhuma ajma'iin-
cintanya para imam fuqaha (ahli fiqih),
mufassirin (ahli tafsir) dan muhadditsin (ahli hadits) -rahiimahu mullah-
cintanya para wali dan kekasih abadi
cintanya para ulama generasi ahlus sunnah
cintanya para mujahid dan mujahidah
cintanya para syuhada
cintanya para hafizh dan hafizhah
cintanya para da'i dan dai'ah
cintanya para ahli thoreqot, ahli dzikir dan ahli ma'rifat
cintanya para ahlul bait yang lurus lagi terpercaya
cintanya para perindu Cinta Ilahi
 
Risalah Hati Mengucapkan
Selamat Hari Raya Iedul Fitri 1431 H
Mohon Maaf Lahir & Batin

ReadMore......

Makna Iedul Fitri

Setiap tanggal 1 syawal seluruh umat Islam diseluruh dunia selalu merayakan Hari Idul Fithri dengan penuh kegembiraan dan rasa syukur. Hari Raya Idul Fithri merupakan puncak dari seluruh rangkaian proses ibadah selama bulan Ramadhon, dimana dalam bulan tersebut kita melakukan ibadah shaum dengan penuh keimanan kepada Allah SWT. Penetapan Hari Raya Idul Fithri oleh Rasulullah SAW dimaksudkan untuk menggantikan Hari Raya yang biasa dilaksanankan orang­orang Madinah pada waktu itu. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW yaitu :

"Jabir ra. Berkata : Rasulullah SAW datang ke Madinah, sedangkan bagi penduduk Madinah ada dua hari yang mereka ( bermain-main padanya dan merayakannya dengan berbagai permainan). Maka Rasulullah SAW bertanya : " Apakah hari yang dua ini ? " Penduduk Madinah menjawab : " Adalah kami dimasa jahiliyah bergembira ria padanya ". Kemudian Rasulullah bersabda : " Allah telah menukar dua hari itu dengan yang lebih baik yaitu Idul Adha dan Idul Fithri ". (HR Abu Dawud)

Di negara Indonesia, Hari Raya Idul Fithri juga merupakan puncak pengalaman hidup sosial dan spiritual keagamaan masyarakat Indonesia. Dapat dikatakan bahwa seluruh kegiatan masyarakat selama satu tahun diarahkan untuk dapat merayakan hari besar itu dengan sebaik-baiknya. Mereka bekerja dan banyak yang menabung untuk kelak mereka nikmati pada saat tibanya Idul Fithri.

Hari raya yang juga disebut lebaran itu sebanding dengan perayaan Thanks Giving Day di Amerika Serikat, saat rakyat negeri itu bersuka-ria dengan bersyukur kepada Tuhan bersama seluruh keluarga. Gerak mudik rakyat Indonesia juga mirip sekali dengan yang terjadi pada orang-orang Amerika menjelang Thanks Giving Day itu. Semuanya merasakan dorongan amat kuat untuk bertemu ayah-ibu dan sanak saudara, karena justru dalam suasana keakraban kekeluargaan itu hikmah Idul Fithri atau Thanks Giving Day dapat dirasakan sepenuh-penuhnya.

Sebagai hari raya keagamaan, Idul Fithri pertama-tama mengandung makna keruhanian. Tapi karena dimensi sosialnya sedemikian besarnya, khususnya dimensi kekeluargaannya, maka Idul Fithri juga memiliki makna sosial yang amat besar. Dan juga dilihat dari segi bagaimana orang bekerja dan menabung untuk berlebaran, Idul Fithri juga mempunyai makna ekonomis yang besar sekali bagi masyarakat Indonesia. Cukup sebagai indikasi tentang hal itu ialah bagaimana daerah-­daerah tertentu memperoleh limpahan ekonomi dan keuangan dari para pemudik, sehingga pemerintah daerah bersangkutan merasa perlu menyambut dan mengelu-elukan kedatangan warganya yang bekerja di kota-kota besar itu.

PENGERTIAN IDUL FITHRI

Makna keruhanian Idul Fithri dapat dipahami dengan baik jika kita dapat melihatnya dari sudut pandang keagamaan yang melatarbelakanginya. Seperti halnya dengan semua pranata keagamaan, Idul Fithri berkaitan langsung dengan ajaran dasar Islam. Karena itu makna Idul Fithri merupakan rangkuman nilai-nilai Islam dalam sebuah kapsul kecil, dengan muatan simbolik yang sangat sentral.

Mayoritas umat Islam mengartikan Idul Fithri dengan arti "kembali menjadi suci ", pendapat ini didasari oleh sebuah hadits Rasullullah SAW yaitu :

“Barang siapa yang melaksanakan ibadah shaum selama satu bulan dengan penuh keimanan kepada Allah SWT maka apabila ia memasuki Idul Fithri ia akan kembali menjadi Fithrah seperti bayi (Tiflul) dalam rahim ibunya " (HR Bukhari )

Kalau ditilik kembali, pendapat yang mengartikan idul Fithri dengan "kembali menjadi suci" tidak sepenuhnya benar, karena kata "Fithri" apabila diartikan dengan "Suci" tidaklah tepat. Sebab kata "Suci" dalam bahasa Arabnya adalah "Al Qudus" atau "Subhana". Oleh karena itu, menurut penulis istilah Idul Fithri dapat ditelusuri minimal dalam tiga pengertian yaitu sebagai berikut:

Untuk memperoleh pengertian itu kita bisa memulainya dengan melihat makna asal ungkapan Arab id al-fithr. Kata id berasal dari akar kata yang sama dengan kata `awdah atau `awdat-un, `adab atau adat-un dan isti'adat-un. Semua kata-kata itu mengandung makna asal "kembali" atau "terulang" (perkataan Indonesia "adat-istiadat" adalah pinjaman dari bahasa Arab `adat-un wa isti 'adat-un yang berarti sesuatu yang selalu akan terulang dan diharapkan akan terus terulang, yakni, sebagai "adat kebiasaan"). Dan hari raya diistilahkan sebagai id karena ia datang kembali berulang-ulang secara periodik dalam daur waktu satu tahun.

Makna asal kata-kata "fithri" kiranya sudah jelas, karena satu akar dengan kata "fitrah" (fithrah), yang artinya "Pencipta" atau "Ciptaan". Secara kebahasaan, fithrah mempunyai pengertian yang sama dengan khilqah, yaitu "ciptaan" atau "penciptaan". Tuhan Yang Maha Pencipta disebut dengan A-Khaliq, atau Al-Fathir. Sebagai contoh, misalnya kita lihat dalam Al Qur'an :

" Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi". (QS Al Fathir 35 : 1)

Berdasarkan uraian diatas maka penulis menyimpulkan bahwa kata "Idul Fithri" mempunyai minimal tiga pengertian yaitu :

1. Kembali ke Awal Penciptaan.

2. Kembali ke Penciptaan Yang Awal.

3. Kembali ke Sang Maha Pencipta.



IDUL FITHRI SEBAGAI PROSES KE AWAL PENCIPTAAN

Menurut para ahli tasawuf, hakikat manusia dibagi menjadi dua bangunan utama yaitu bangunan jasmani dan bangunan rohani. Bangunan jasmani manusia diciptakan oleh Allah melalui enam proses kejadian yaitu :

1. Saripati tanah.

2. Saripati mani.

3. Segumpal darah.

4. Segumpal daging.

5. Pertumbuhan tulang belulalang.

6. Pembungkusan tulang belulang dengan daging.

7. Peniupan Roh-Ku ke dalam janin.

Proses tersebut sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur'an yaitu :

"Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dari saripati tanah. Kami jadikan saripati tanah itu menjadi air mani yang ditempatkan dengan kokoh ditempat yang teguh. Kemudia air mani itu Kami jadikan segumpal darah., dari segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, Kami jadikan pula tulang belulang. Kemudian tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging kembali ". (QS Al Mu'minun 23 : 12 – 14 )

"Kemudian Ia menyempurnakan penciptaan-Nya dan Ia tiupkan padanya sebagian dari Roh-Nya dan Ia jadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan rasa, tetapi sedikit sekali kamu bersyukur". (QS As Sajadah 32 : 9)

Berdasarkan firman Allah tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa setiap manusia lahir atau diciptakan pasti akan melalui proses kejadian bayi dalam kandungan yang telah mendapat tiupan Roh dari Allah (Roh-Ku).

Berdasarkan penyelidikan para ahli embriologi, dapat diketahui fase-fase perkembangan seorang bayi dalam kandungan dan juga keadaan dan ciri-ciri dari bayi tersebut yaitu :

Seorang bayi dalam kandungan selalu dibungkus oleh lapisan Amnion yang berisi air ketuban (amnion water atau kakang kawah). Karena seorang bayi berada didalam air ketuban, maka sembilan lubang yang ada pada jasmaninya secara otomatis tertutup atau belum berfungsi secara sempurna. Kesembilan lubang itu adalah : dua lubang telinga, dua lubang mata, dua lubang hidung, satu lubang mulut, satu lubang kemaluan dan satu lubang anus. Tetapi ada satu lubang yang kesepuluh yang justru terbuka yaitu lubang pusar yang dihubungkan oleh tali plasenta ke rahim ibu. Tali plasenta ini berfungsi sebagai alat untuk menyalurkan zat-zat makanan dan oksigen dari rahim ibu kepada bayi tersebut. Dalam falsafah orang Jawa tali plasenta tersebut dinamakan Adik Ari-ari.

Dengan tertutupnya sembilan lubang yang terdapat pada jasmani seorang bayi dalam kandungan rahim ibu, maka secara otomatis seluruh indera bayi belum berfungsi secara sempurna, dengan kata lain, bayi tersebut pada saat itu belum bisa melihat, mendengar, bernafas, berkata-kata secara sempurna, dan juga belum bisa buang air besar maupun buang air kecil. Tetapi Rohani bayi tersebut pada saat itu sudah berfungsi sifat ma'aninya. Apa yang dirasakan oleh bayi pada saat berada dalam rahim ibu, tidak seorangpun mengetahuinya, kecuali oleh bayi itu sendiri. Sayangnya setiap bayi yang telah tumbuh dewasa tidak dapat mengingat apa yang telah ia rasakan pada waktu ia berada dalam kandungan rahim ibunya.


IDUL FITHRI SEBAGAI PROSES KEMBALI KE PENCIPTAAN YANG AWAL

Dalam pengertian ini, semua segi kehidupan seperti makan, minum, tidur, dan apa saja yang wajar, tanpa berlebihan, pada manusia dan kemanusiaan adalah fitrah. Semuanya itu bernilai kebaikan dan kesucian, karena semuanya berasal dari design penciptaan oleh Tuhan. Karena itu berbuka puasa atau "kembali makan dan minum" disebut ifthar, yang secara harfiah dapat dimaknakan "memenuhi fitrah" yang suci dan baik. Dengan perkataan lain, makan dan minum adalah baik dan wajar pada manusia, merupakan bagian dari fithrahnya yang suci. Dari sudut pandang ini kita mengerti mengapa Islam tidak membenarkan usaha menempuh hidup suci dengan meninggalkan hal-hal yang wajar pada manusia seperti makan, minum, tidur, berumah tangga, dan seterusnya. Berkenaan dengan ini Nabi Saw pernah memberi peringatan keras kepada salah seorang sahabat beliau, bernama `Utsman ibn Mazh'um', yang ingin menempuh hidup suci dengan tindakan semacam pertapaan. Nabi juga dengan keras menolak pikiran sementara sahabat beliau yang ingin menempuh hidup tanpa kawin. Semua tindakan meninggalkan kewajaran hidup manusia adalah tindakan melawan fithrah, jadi juga tidak sejalan dengan sunnah.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dalam hari raya Idul Fithri terkandung makna kembali kepada hakikat yang wajar dari manusia dan kemanusiaan. Kewajaran itu adalah pemenuhan keperluan untuk makan dan minum sehingga makna sederhana Idul Fithri dapat diartikan "Hari Raya Makan dan Minum" setelah berpuasa sebulan.



IDUL FITHRI SEBAGAI PROSES KEMBALI KE SANG MAHA PENCIPTA

Jika kita telusuri ke belakang, pangkal mula pengertian Idul Fithri ialah ajaran dasar agama bahwa manusia diciptakan Allah dalam fitrah kesucian dengan adanya ikatan perjanjian antara Allah dan manusia sebelum manusia itu lahir ke bumi. Perjanjian primordial itu berbentuk kesediaan manusia dalam alam ruhani untuk mengakui dan menerima Allah, (Tuhan Yang Maha Esa), sebagai "Pangeran" atau "Tuan" baginya yang harus dihormati dengan penuh ketaatan dan sikap berserah diri yang sempurna (Islam). Hal ini digambarkan dalam al-Qur'an, demikian :

“Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengambil dari anak-cucu Adam, yaitu dari pungung-punggung mereka, keturunan mereka dan dia mempersaksikan atas diri mereka sendiri, "Bukankah Aku ini

Tuhan kamu? ‘ Mereka semua menjawab :” Benar, kami bersaksi”. Demikianlah, supaya kamu tidak berkata kelak pada hari kiamat : "sesungguhnya kami lalai tentang hal ini” (QS Al A 'raf 7 : 127)

Karena setiap jiwa manusia menerima perjanjian persaksian itu, maka setiap orang dilahirkan dengan pembawaan alami untuk "menemukan" kembali Tuhan dengan hasrat berbakti dan berserah diri kepada-Nya ("ber-islam"). Melalui wahyu kepada Rasulnya, Allah mengingatkan akan adanya perjanjian itu, akan kelak di hari kiamat, ketika setiap jiwa menyaksikan akibat amal perbuatannya sendiri yang tidak menyenangkan, dikarenakan tidak mengenal Tuhannya, janganlah mengajukan gugatan kepada Tuhan dengan alasan tidak menyadari akan adanya perjanjian itu. Sebab, terkias dengan dunia bawah sadar dalam susunan kejiwaan kita, perjanjian primordial tersebut tidak dapat kita ketahui dan rasakan dalam alam kesadaran, tetapi tertanam dalam bagian diri kita yang paling dalam, yaitu ruhani kita. Maka kita semua sangat rawan untuk lupa dan lalai kepada kenyataan ruhani.

"Sesungguhnya merugilah orang-orang yang mendustakan akan menemui Allah sehingga apabila datang Hari Berbangkit dengan tiba-tiba mereka berkata : "Aduhai penyesalan kami atas kelengahan kami (karena tidak mau menemui Allah ketika masih hidup) di dunia" Sungguh mereka memikul dosa, amat berat apa yang mereka pikul itu ". (QS Al An 'am 6 : 31)

Biarpun jauh sekali berada dalam bagian-bagian dasar kedirian kita, yang berhubungan dengan alam kejiwaan bawah sadar, namun karena adanya perjanjian primordial itu maka kesadaran kita tetap mempengaruhi seluruh hidup kita. Adanya perjanjian primordial itu, yang sama dengan alam bawah sadar, merupakan asal muasal pengalaman tentang kebahagiaan dan kesengsaraan. Kita dapat periksa secara analitis kedirian kita yang terdiri dari paling tidak tiga jenjang kewujudan : pertama, wujud kebendaan atau jasmani (jimani, fisiologis); kedua, wujud kejiwaan atau nafsani (nafsani, psikologis); dan ketiga, wujud kesukmaan atau ruhani (ruhani, spiritual). Pengalaman bahagia atau sengsara yang berpangkal dari keberhasilan atau kegagalan memenuhi perjanjian dengan Tuhan adalah merupakan pengalaman ruhani.

Keutuhan atau keterpecahan psikologis merupakan pangkal pengalaman senang atau susah yang lebih tinggi dan mengatasi perasaan nyaman dan tidak nyaman oleh keadaan badan yang sehat atau sakit. Dan pengalaman bahagia atau sengsara dalam dimensi ruhani mengatasi dan lebih tinggi dari pada pengalaman manapun, psikologis, apalagi fisiologis, hidup manusia. Jadi juga lebih hakiki, lebih abadi, dan lebih wujud dari pada lain-lainnya itu.

Semua pengalaman fisiologis nyaman atau tidak nyaman, pengalaman psikologis senang atau tidak senang, dan pengalaman spiritual bahagia atau tidak bahagia selalu terkait dengan terpenuhi atau tidak terpenuhi hasrat untuk kembali kepada asal. Sejak dari bayi yang merindukan ibunya dan merasa tenteram setelah berkumpul dengan ibunya itu, sampai kepada kerinduan setiap orang untuk berkumpul dengan keluarganya dan kembali ke kampung halaman tempat ia dilahirkan atau dibesarkan (yang merupakan dasar kejiwaan dorongan "mudik", baik saat lebaran di Indonesia maupun saat Thanks Giving Day di Amerika), hasrat untuk kembali ke asal itu langsung berkaitan dengan pengalaman-pengalaman mendalam pada masing-masing diri manusia.

Hasrat untuk kembali yang paling hakiki ialah hasrat untuk kembali menemui Tuhan, asal segala asal hidup manusia. Terkias dengan hasrat seorang anak untuk kembali kepada orang tuanya yang diwujudkan dalam keinginan naluriah untuk berbakti kepada keduannya, hasrat untuk kembali kepada Tuhan juga disertai dengan keinginan naluriah untuk berbakti atau menghambakan diri ('abda, ber-ibadah) dan berserah diri (aslama, ber-Islam) kepada-Nya. Tidak ada bakat atau pembawaan manusia yang lebih asli dan alami dari pada hasrat untuk menyembah dan berbakti. Karena itu semua, maka ada ungkapan suci, "Kita semua berasal dari Allah dan kita semua kembali kepada-Nya" (QS 2:156). Karena itu wajar sekali bahwa seruan dalam Kitab Suci agar semua manusia kembali (ber-inabah) kepada Tuhan sekaligus dibarengi dengan seruan untuk berserah diri (ber-islam) kepada-Nya.

ReadMore......

Wali & Keramat

Wali & Keramat

Pengertian

Wali-wali Allah SWT adalah orang-orang saleh yang telah dekat kepada Allah SWT dan telah ‘arif billah sesuai dengan ketaatannya yang terus menerus kepada Allah dan dengan konsekuen meninggalkan segala bentuk maksiat yang bergelimang dengan hawa nafsu. Mereka adalah orang- orang yang selalu menyibukkan diri dengan zikrullah sesuai dengan sabda Rasul,
Artinya : “Beruntunglah orang-orang yang sendirian”. Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah Al Mufarridun (orang-orang yang sendirian) itu ya Rasulullah ?. Jawab Rasulullah, “Mereka adalah orang-orang yang menyendiri dan menyibukkan diri dengan zikir kepada Allah SWT. Karena zikir itu akan menghapuskan dosa-dosa mereka, maka mereka akan datang pada hari kiamat nanti dengan dosa yang ringan/sedikit (H.R. Tarmizi).

Keramat adalah sesuatu yang Khariqul’adah yang dianugerahkan Allah SWT kepada wali-wali- Nya sebagai suatu tingkat keistimewaan bagi mereka. Para wali-wali Allah yang telah mujahadah, bersungguh-sungguh dan terus menerus mendekatkan diri kepada Allah guna mendapatkan ridla- Nya, melaksanakan ibadat seimbang antara syariat dan hakikat, antara syariat lahir yang disertai dengan keihklasan batin lillahi ta’ala. Prof. Dr. Hamka mengatakan, “Tetapi orang-orang yang dianugerahi keistimewaan itu bukanlah terdiri dari manusia luar biasa. Segala orang, pendeknya segala kita, sanggup mencapai derajat waliullah itu, asal dipenuhi syaratnya.
Firman Allah SWT,

Artinya : “Sesungguhnya orany yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa.” (Q.S. Al Hujurat 49 : 13).
Kalimat akrama (paling mulia) diambil dari karama (kaf, raa dan mim), dan dari sini diambil kata keramat.
Oleh sebab itu maka orang-orang yang saleh itu tidaklah perlu mempelajari sihir atau ilmu-ilmu ganjil pemagar diri, dan tidak perlu mempercayai tukang-tukang tenung dan ramal, mengetahui nasib. Dia telah beroleh yang lebih dari itu, yaitu anugerah Tuhan, karena dia dekat dengan Tuhan. Dengan jalan mensuci-bersihkan jiwa daripada perangai-perangai yang tercela.” (Hamka ,1984 : 115).
Al Kharraz berkata, “Jika Allah berkehendak mengangkat salah seorang hamba-Nya menjadi wali, maka Dia akan membuka baginya pintu gerbang zikir kepada-Nya. Jika dia telah merasakan manisnya zikir, maka Dia akan membukakan baginya pintu kedekatan.

Kemudian diangkat-Nya dia ke kelompok yang akrab dengan-Nya. Kemudian ditempatkan-Nya dia di atas tahta tauhid. Kemudian diangkat-Nya tabir yang menghalanginya dan dibimbing-Nya dia ke Rumah Kesatuan dan mengungkapkan baginya kecemerlangan dan keagungan Ilahi. Manakala matanya memandang kecemerlangan dan keagungan Ilahi, maka tak ada sesuatu pun dari dirinya yang akan tertinggal. Pada saat itulah si hamba untuk sesaat sama sekali lenyap. Setelah itu dia akan berada di dalam perlindungan Allah, bebas dari pretensi apa pun mengenai dirinya sendiri” (Al Qusyayri 1994 : 270).

Al Qusyayri dalam ‘Risalah Sufi’nya mengatakan bahwa kata “Wali“(orang suci) mempunyai dua arti. Yang pertama berasal dari pola fa’il (pelaku) dalam artian pasif. Artinya Allah SWT mengambil alih urusan Insan (yatawalla) Si Wali. SebagaimanaAllah SWT berfirman “... dan Dia mengambil alih urusan (yatawalla) orang-orang Saleh” (Q.S. Al A’raf 7 : 196). Arti yang kedua berasal dari pola fa’il dalam pengertian intensif aktif. Ini berlaku pada orang-orang yang secara aktif melaksanakan ibadat kepada Allah SWT dan mematuhi-Nya sedemikian rupa hingga amal ibadatnya terus menerus bersusulan tanpa diselingi kemaksiatan. Kedua arti ini mesti ada pada seorang wali untuk bisa dianggap sebagai wali sejati (Al Qusyayri 1994 : .265-266).

Seorang wali bukanlah seorang yang maksum sebagaimana halnya Nabi dan Rasul Allah SWT. Maksum artinya terpelihara dari berbuat dosa besar maupun kecil selama-lamanya. Seorang wali adalah seorang yang Mahfuz, artinya terpelihara dari berbuat dosa besar, tapi tidak terpelihara dari dosa kecil. Kalaupun seorang wali berbuat dosa kecil, maka segera dia akan menyesal dan taubat dengan taubat nashuha dan sadarlah dia akan kelemahan dirinya.

B. Dasar Hukum

Ketetapan adanya wali-wali Allah SWT itu berdasarkan Al Quran dan Al Hadist.

1). Wali
 

Firman Allah SWT,

Artinya : Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (Q.S. Yunus 10 : 62).
Firman Allah SWT,

Artinya : Karena sesungguhnya pelindungku ialah Allah yang telah menurunkan Al Kitab (al Quran) dan dia melindungi orang-orang yang saleh (Q.S. Al ‘Araf 7 : 196)
 

Sabda Rasulullah SAW :
 

Artinya : Sesungguhnya ada beberapa hamba Allah SWT di mana para Nabi dan syuhada jatuh cinta dan iri kepada mereka (ingin seperti mereka). Para sahabat bertanya : Siapakah mereka itu wahai Rasulullah ? Sebab mudah-mudahan kami ingin pula seperti mereka. Jawab Rasul, “ Mereka itu adalah kaum yang berkasih sayang atas dasar Nur Allah SWT, bukan atas dasar harta dan keturunan. Muka mereka bercahaya dan mereka berada di mimbar-mimbar berdasarkan Nur Allah, mereka tidak takut pada waktu manusia yang lain takut dan mereka tidak bersedih hati pada waktu manusia yang lain bersedih.” (H.R. An Nasai dan Ibnu Hibban).
 

Hadist Qudsi yang diriwayatkan oleh Bukhari :
Artinya : Sesungguhnya Allah SWT berfirman “Barang siapa yang memusuhi seorang penolong-Ku (wali-Ku), maka Aku mengumumkan perang kepadanya. Dan apabila hamba-hamba-Ku menghampirkan diri kepada-Ku dengan sesuatu amalan, tanda lebih kasih ia kepada-Ku, daripada hanya sekedar mengamalkan apa-apa yang telah Ku-wajibkan atasnya, kemudian ia terus menerus mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan amalan-amalan yang nawafil (yang baik) hingga Aku mencintainya, maka apabila Aku telah mencintainya, adalah Aku pendengarannya bila ia mendengar dan Akulah penglihatannya bila ia melihat dan Aku kakinya bila ia berjalan, jika ia memohon niscaya Aku perkenankan permohonannya, jika ia meminta perlindungan pastilah Aku lindungi dia.”(H.R. Al Bukhari).
Itulah dasar hukum adanya wali.

2). Keramat
Adapun dasar hukum adanya kekeramatan para wali didasarkan kepada dalil naqli maupun aqli.
 

(1). Dalil Aqli
Kalau jaiz (boleh), apabila Allah SWT dapat memberikan mukjizat kepada para Nabi dan Rasul- Nya untuk pembuktian kebenaran mereka sebagai Nabi dan Rasul Allah, maka dapat pulalah bagi Allah memberikan keramat kepada hamba-hamba-Nya yang saleh yang berkualitas sebagai wali- wali Allah. Kekeramatan itu terlihat dan muncul pada masa hidup mereka dan berkelanjutan sampai dengan mereka telah meninggal. Begitulah pendapat para jumhur dan ahlus sunnah dan tidak ada satu mazhab pun dari mazhab yang empat yang mengatakan bahwa tidak ada lagi kekeramatan itu setelah mereka meninggal. Bahkan mereka mengatakan kekeramatan para wali setelah meninggal lebih aula (utama) dari kekeramatan pada waktu mereka masih hidup, karena mereka pada waktu itu suci dari kotoran-kotoran dunia. Disebutkan orang, bahwa yang tidak nampak kekeramatannya setelah ia meninggal, maka kekeramatan-kekeramatan yang dinampakkan pada waktu hidup adalah kekeramatan yang tidak benar atau dusta. Sebagian ahli sufi mengatakan bahwa sesungguhnya Allah mewakilkan beberapa malaikat di makam para wali untuk memenuhi hajat orang yang memintanya dan kadang-kadang wali itu sendiri muncul memenuhi hajat orang yang berkehendak itu (Amin Al Kurdi 1994 : 367).
 

(2). Dalil Naqli
Sebagian dari dalil naqli dijumpai beberapa kisah-kisah dalam Al Qur’an dan Al Hadis, antara lain,
- Kisah Maryam yang melahirkan Isa tanpa suami.
Firman Allah SWT,
Artinya : “Ia (Jibril) berkata sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci. Maryam berkata, “Bagaimana akan ada bagiku seorang anak- anak laki-laki, sedangkan tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku, dan aku bukan pula seoran pezina.” Jibril berkata, “Demikianlah Tuhanmu berfirman, “Hal itu adalah mudah bagi-Ku, dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami, dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan.” Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. (Q.S. Maryam 19:19-22).
- Kisah pemeliharaan Zakaria terhadap Maryam.
Firman Allah SWT,
Artinya : Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di Mihrab, ia dapati makanan disisinya. Zakaria berkata, “Hai Maryam, darimana kamu memperoleh (makanan) ini ?” Maryam menjawab, “Makanan itu dari sisi Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki- Nya tanpa hisab.” (Q.S. Ali Imran 3 : 37).
Maryam berada di Mihrab itu sendirian dan kunci pintunya dipegang oleh Zakaria sendiri. Anehnya lagi, buah-buahan musim kemarau didapati pada musim penghujan dan sebaliknya (Amin Al Kurdi 1994 : 366 - 367).
- Kisah Ashabul Kahfi. Mereka adalah jama’ah kaum muslimin yang lari dari tentara Rumawi. untuk menyelamatkan keyakinannya dan bertapa di dalam sebuah gua dengan tidak makan dan minum selama 309 tahun.
Firman Allah SWT,

Artinya : Dan mereka tinggal dalam gua mereka 300 tahun dan ditambah 9 tahun (lagi). (Q.S. Al Kahfi 18 : 25).
- Kisah Asif, seorang wazir atau menteri Nabi Sulaiman a.s. mengenai istana Ratu Balqis, yang diangkat dan dipindahkan oleh tentaranya orang-orang halus dari Yaman ke dalam kerajaan Nabi Sulaiman dalam waktu sekejap mata.

Firman Allah SWT,
Artinya : Berkatalah Sulaiman, “Hai pembesar-pembesar, siapakah diantara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang- orang yang berserah diri. Berkata ‘Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin, “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya (lagi) dapat dipercaya. Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab, “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata, “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya).” (Q.S. An Naml 27 : 38 - 40).
Yang dimaksud dengan seseorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab pada ayat di atas adalah wazir Nabi Sulaiman yang bernama Asif. Dengan kekeramatannya dapat memindahkan istana Balqis dari negeri Saba’ ke Kerajaan Sulaiman dalam sekejap mata. Jarak antara istana Balqis dengan istana Sulaiman adalah dua bulan perjalanan. Pemindahan istana tersebut dalam sekejap mata dilaksanakan oleh para malaikat dengan izin Allah yang berasal dari kudrat dan iradat-Nya sendiri.

Sungguh amat banyak sekali kalau kita mau menceritakan tentang keramat-keramat para wali pada zaman dahulu yang tertera di dalam Al Quranul karim ataupun Sunnah Rasul.

Adapun keramat-keramat para wali setelah itu tidak kurang banyaknya yang diceritakan pada buku-buku tasawuf, antara lain umpamanya kekeramatan :
 

- Rabi’atul Adawiyah yang mendapatkan beberapa uang emas di bawah tikar shalatnya, memasak nasi tanpa memakai api dan sebagainya ;
- Ibrahim Khurasani yang pada suatu hari sedang berwudhu medapati dengan tiba-tiba embernya tiba-tiba berubah menjadi permata, siwak giginya menjadi perak dan ujungnya lembut bagaikan benang sutra ;
- Sufi Saramqani mendapati roti dengan ayam panggang serta manisan gula di tempat shalatnya sedang langgarnya terkunci rapat ;
- Prof. Dr. H. Kadirun Yahya MSc menggali kedahsyatan dan kehebatan Al Quranul Karim dengan metode zikrullah yang disalurkan melalui batu tawajuh dan air tawajuh untuk memadamkan letusan kawah Gunung Galunggung pada tahun 1982, menumpas komunis di perbatasan negara tetangga pada tahun 1974, memadamkan huru hara antara negara bagian dengan ibu negara tetangga pada tahun 1977, menjinakkan badai dan ombak yang sangat dahsyat dengan seketika di Samudera Indonesia dekat pulau Nias pada tahun 1981, dapat menyelamatkan 156 orang pasukan yang dipimpin oleh Letkol (marinir) Bahder Djohan dalam operasi di Timor-Timur pada tahun 1982, pernah menghidupkan berpuluh-puluh orang mati dalam waktu yang relatif singkat dan masih banyak lagi yang kalau diterangkan di sini merupakan rangkaian daftar yang panjang sekali. Atas prestasi Ucapan terima kasih dan penghargaan telah banyak disampaikan kepada beliau, baik perorangan maupun pemerintah.

Selain itu beliau pun telah berhasil menyembuhkan beberapa penyakit yang sebahagiannya tidak mungkin lagi disembuhkan oleh dokter dan sebahagian lainnya belum pernah disembuhkan oleh dokter medis, dapat disembuhkan oleh beliau dengan izin Allah SWT melalui metode kedahsyatan dan kehebatan Al Quranul karim yang disalurkan melalui salurannya yang hak yang mendapatkan enerji dan power serta frekuensi tak terhingga ( ) dari Allah SWT. Demikian pula telah beribu-ribu orang yang disembuhkan melalui metode ini dan seluruhnya ada bukti-bukti tertulis berbentuk surat ucapan terima kasih, surat penghargaan dan sebagainya dari mereka-mereka yang telah mendapat pertolongan . Macam-macam penyakit itu antara lain :’liver abscess’, ‘lung abscess’, narkotika, cancer, cancer kulit, cancer payudara, hemarrhoide (wasir), jantung, tumor, batu empedu, pankreas dan lever, frostad, AIDS, menstruasi bulanan yang tidak pernah berhenti selama 8 tahun dan bahkan banyak sekali penyakit aneh dan ganjil yang tidak dapat disembuhkan secara medis. (SS.H.Kadirun Yahya 1991 : 10 - 57).

C. Menzahirkan kekeramatan
Ada orang bertanya apakah keramat itu sama dengan sihir atau sama dengan mukjizat, dan apa pula perbedaan di antaranya. Perbedaan antara keramat dengan sihir adalah sihir itu terjadi di kalangan orang-orang fasik, orang-orang zindik dan orang-orang kafir yang tidak percaya kepada agama Allah SWT. Keramat terjadi pada orang-orang yang percaya pada Allah dan sungguh- sungguh mengerjakan syariat-Nya dan dengan mujahadah yang kuat sehingga sampai kepada derajat wali.

Adapun perbedaan antara keramat dengan mukjizat bahwa keramat itu terjadi pada wali-wali Allah yang tidak menyatakan dirinya sebagai Nabi atau Rasul. Mukjizat terjadi pada Nabi-Nabi atau Rasul Allah sebagai pembuktian atas kebenaran kenabian dan kerasulannya. Karena itu mukjizat wajib dinampakkan untuk keperluan dakwah dan dakwah dengan pembuktian mukjizat itu adalah akurat, sangat dibutuhkan.

Seorang wali tidak wajib menzahirkan kekeramatannya, sebab ketentuan-ketentuan syariat agama telah tetap sesuai dengan yang disampaikan oleh para Nabi dan Rasul Allah SWT. Oleh sebab itu menzahirkan atau menyembunyikan kekeramatan boleh-boleh saja.
Di kalangan para Syekh sufi terdapat dua pendapat dalam masalah ini. Pendapat yang pertama mengatakan sebaiknya para wali menyembunyikan kekeramatannya, sebab tidak ada kebutuhan dakwah untuk menampakkannya dan bisa juga menimbulkan fitnah atau ria yang bisa merusak kesucian rohani si wali itu sendiri. Para wali yang berpendapat demikian merasa takut kalau-kalau kekeramatan yang dia peroleh merupakan istidraj atau pemanjaan, karena kebencian, yang akan menjerumuskan sang wali. Yang berpendapat dengan pendapat pertama ini antara lain imam Abu Bakar bin Abu Fura.

Syekh Abu Yazid Al Bustami mengatakan wali-wali Allah adalah pengantin-pengantin-Nya. Karena itu tak seorangpun boleh melihat para pengantin itu kecuali keluarganya. Mereka ditabiri dalam ruang khusus di hadirat-Nya oleh keakraban.
Abu Bakar as Saydalani menuturkan, suatu ketika aku berulang kali memperbaiki batu nisan makam Abu Bakar at Tamastani dan mengukir namanya pada nisan itu. Setiap kali aku selesai memperbaikinya, batu nisan itu digali dan dicuri orang dan akhirnya aku bertanya kepada Abu ‘Ali ad-Daqqaq tentang hal ini. Dia menjelaskan bahwa syekh itu lebih suka tidak dikenal orang di dunia ini. Karena itu tidak suka juga dengan batu nisan yang berarti mempromosikan kenangan kepadanya.
Rabi’atul Adawiyah tidak mengizinkan orang lain masuk ke dalam kamar khalwatnya, karena beliau tidak ingin orang lain menceritakan tentang keadaannya seperti beroleh emas di bawah tikar shalatnya atau menanak nasi dengan tidak memakai api. Demikian diceritakan oleh Zulfah kemenakan Rabi’atul Adawiyah.

Pendapat yang kedua mengatakan boleh saja seorang wali itu menzahirkan kekeramatannya, apalagi kalau dirasakan hal itu perlu untuk kepentingan dakwah dan tentunya wali tersebut tidak menimbulkan takabur atau ria dengan menzahirkan kekeramatannya itu. Abu Usman mengatakan, “Seorang wali mungkin termasyur kemana-mana, namun dia tidak akan tergoda oleh kemasyurannya itu.”
Prof. Dr. H. Kadirun Yahya mengatakan, pada zaman sekarang ini dirasakan perlu pada suatu saat menampakkan kekeramatan itu dalam rangka menangkis tuduhan atau pendapat bahwa agama itu adalah hayalan belaka dan tak dapat dibuktikan. Seperti menangkis pendapat Salman Rusdi dengan ‘Ayat-Ayat Syetan’ (“The Satanic Verses”)nya.

http://www.naqsyabandi.org/Wali%20&%20Keramat.html

ReadMore......