-->

Semulia Akhlak Nabi

Dalam sebuah seminar, seorang tokoh pernah berkata “Jangan samakan Islam dengan umatnya! Islam itu akan selalu mulia, tetapi tidak demikian dengan umatnya.” Hal ini tentunya menjadi satu kenyataan yang paradoks, aneh dan mengejutkan. Betapa tidak, dalam sebuah catatan statistik dikatakan bahwa, para pelaku kriminalitas sebagian besarnya di negeri ini adalah orang yang beragama Islam, belum lagi tingkah laku kaum muslimin dewasa ini yang semakin lama semakin terlepas dari sifat dan ciri khas orang-orang yang mendapatkan risalah Islam.

Pun demikian, pada masa lalu, banyak orang memeluk Islam karena terpesona dengan akhlak seorang muslim. Sebut saja Suraqah, pemuda Quraisy yang begitu bersemangat membunuh Nabi. Ia masuk Islam setelah dimaafkan Nabi –padahal waktu itu Nabi berada diatas angin untuk ganti membunuhnya-

Demikian pula, dengan penduduk Himsha –yang semula Kristen- berbondong-bondong masuk Islam, setelah mengetahui kejujuran kaum muslimin. Penguasa mulsim saat itu mengembalikan pajak yang ditarik, karena mereka akan meninggalkan kota tersebut, sehingga tak lagi mampu memberikan perlindungan.

Kisah tentang seorang Yahudi –yang dimenangkan oleh pengadilan atas Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam kasus sengketa baju besi- pun semakin menghiasi ketinggian akhlak Islam. Bahkan sejarah masuknya Islam di Asia diawali ketertarikan penduduk setempat terhadap kejujuran para pedagang muslim yang datang berniaga.

Namun, sejarah emas akhlak muslim tersebut kini seolah pudar. Akhlak sebagian besar kaum muslimin semakin hari semakin memprihatinkan. Betapa banyak orang bertitel haji, namun tingkah-lakunya tak terpuji. Demikian pula dengan gaya hidup pemuda-pemudi Islam, yang nyaris tak ada bedanya dengan kebudayaan Barat.

Begitu dalamnya dekadensi moral yang melanda kaum muslimin, sampai-sampai seorang mualaf berkomentar, “Alhamdulillah, saya telah masuk Islam sebalum mengetahui akhlak kaum muslimin.”

Seolah menjadi bagian dari keprihatinan tersebut, buku ini hadir. Di dalamnya, Penulis memaparkan sendi-sendi akhlak yang menjadi keistimewaan ajaran Islam dibanding agama manapun. Anada akan dituntun untuk meniti sendi-sendi tersebut, disertai contoh-contoh aplikatif dari kehidupan generasi Islam pertama, dan tips-tips untuk mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan menghadirkan bahasa yang akrab dan komunikatif, Penulis berhasil menghadirkan sketsa akhlak, yang sebenarnya menggambarkan betapa besar kasih-sayang tersebut, sampai-sampai iblis pun mengintip dengan iri karena ingin mendapatkannya.

Penulis : Amru Khalid

ReadMore......

Memburu Malam Lailatul Qadar

Sesungguhnya pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ada malam kemuliaan (lailatul qadar). Ini adalah malam yang memiliki keutamaan yang agung. Diantara keutamaannya:

1. Malam lailatul qadar adalah malam yang penuh keberkahan sebagaimana firman Allah ta’ala:

﴿ إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ * فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ * أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ ﴾ [الدخان: 3 -5].

“ Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah,(yaitu) urusan yang besar dari sisi kami. Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus rasul-rasul” (Ad Dukhan : 3-5)

2. Malam lailatul qadar adalah malam mulia nan agung sebagaimana firman Allah ta’ala:

﴿ إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ﴾ [القدر: 1]

“ Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan” (Al Qadar:1)

Pada malam itu Allah menetapkan apa yang terjadi sepanjang tahun dan memutuskan segala perkara nya yang penuh hikmah.

3. Malam lailatul qadar adalah malam yang keutaman, kemuliaan, dan banyaknya kebaikan serta balasan pahala nya lebih baik dari seribu bulan sebagaimana firman Allah ta’ala:

﴿ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ﴾ [القدر: 3]

“ malam lailatul qadar itu lebih baik dari seribu bulan” (Al Qadar:3)


4. Pada malam lailatul qadar para Malaikat dan Malaikat Jibril turun ke bumi dengan membawa keberkahan, kebaikan, dan rahmat. Sebagaimana firman Allah ta’ala:

﴿ تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا ﴾ [القدر: 4]

“ pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril” (Al Qadar : 4)

5. Malam lailatul qadar adalah malam keselamatan / kedamaian bagi orang-orang yang beriman dari segala hal yang mereka takutkan dikarenakan banyaknya pengampunan dosa dan pembebasan dari neraka.

﴿ سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ﴾ [القدر: 5]

“malam itu (penuh) Kesejahteraan sampai terbit fajar” (Al Qadar : 5)

6. Malam lailatul qadar itu sebagaimana yang Rasulullah katakan:

( مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ )

“Barangsiapa yang berdiri (menunaikan shalat) pada bulan Ramadhan dengan keimanan dan mengharapkan pahala maka akan diampuni dosa nya yang telah lalu” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka siapapun orang yang menegakkan shalat (tarawih –pent.) dengan penuh keimanan kepada Allah serta mengharapkan balasan pahala dari Allah, ia akan memperoleh keutamaan sekalipun ia tidak mengetahuinya.

7. Malam lailatul qadar terjadi pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan (pada malam-malam ganjil). Maka disyari’atkan bagimu – wahai kaum muslimin- dalam mencari nya dan berupaya keras mendapatkannya. Rasulullah bersabda:

( تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ) رواه البخاري

“Carilah malam lailatul qadar pada malam ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan” (HR. Bukhari)

8. Jika tiga malam pertama dari sepuluh hari terakhir terlewatkan olehmu atau karena tidak mampu, maka bersungguh-sungguhlah pada tujuh hari yang tersisa. Rasulullah bersabda:

( الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ يَعْنِي لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلَا يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِي ) رواه مسلم

“Carilah malam lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir. jika salah seorang di antara kalian tidak mampu atau lemah maka jangan sampai terluput dari tujuh hari sisanya” (HR. Muslim)

8. Berupayalah dengan sungguh-sungguh dalam mencari malam lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan lebih bersungguh-sungguh lagi pada tujuh malam terakhir. Rasulullah berkata kepada seorang sahabat yang bermimpi melihat malam lailatul qadar pada tujuh malam terakhir:

( أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ ) رواه الشيخان

“Aku melihat mimpi kalian. Mimpi kalian tepat pada tujuh malam terakhir. Barang siapa yang ingin mencarinya, maka carilah pada tujuh malam terakhir bulan Ramadhan.” (H.R. Muslim)

9. Carilah malam lailatul qadar pada malam kedua puluh lima, kedua puluh tujuh, dan kedua puluh sembilan. Sungguh telah bersabda Rasulullah :

( الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي تَاسِعَةٍ تَبْقَى فِي سَابِعَةٍ تَبْقَى فِي خَامِسَةٍ تَبْقَى ) رواه البخاري

“Carilah malam lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Pada malam kedua puluh Sembilan, keduapuluh tujuh, kedua puluh lima”. (HR. Bukhari)

10. Dari tujuh malam terakhir bulan Ramadhan yang paling mendekati adalah malam kedua puluh tujuh, maka bersungguh-sungguhlah pada malam ini. Sungguh Ubay bin Ka’ab telah berkata:

( وَ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَعْلَمُ أَيُّ لَيْلَةٍ هِيَ هِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي أَمَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللَّهِ ع بِقِيَامِهَا هِيَ لَيْلَةُ صَبِيحَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ ) رواه مسلم

“Demi Allah aku tahu kapan malam itu, yaitu malam yang kita diperintah Rasulullah untuk menghidupkannya, yaitu malam kedua puluh tujuh” (HR. Muslim)

11. Perbanyaklah membaca doa ini pada malam-malam pencarian lailatul qadar:

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

“Ya Allah.. Sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf.. Engkau senang memaafkan.. Maku ampunilah aku..”

‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Nabi :

( أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ قُولِي اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي ) رواه الترمذي وابن ماجة (صحيح)

“Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda kalau saya mendapatkan Lailatul Qadar, apa yang saya ucapkan ketika itu? beliau menjawab: “Katakanlah, Allahumma innaka ‘afuwwun, tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, Shahih)

12. Tanda-tanda malam lailatul qadar disebutkan dalam hadits Ubay, Rasulullah bersabda:

( وَأَمَارَتُهَا أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فِي صَبِيحَةِ يَوْمِهَا بَيْضَاءَ لَا شُعَاعَ لَهَا ) رواه مسلم

“Tandanya adalah matahari terbit pada pagi harinya cerah tanpa sinar.” (HR. Muslim)

Juga dalam riwayat Abu daud:

( تُصْبِحُ الشَّمْسُ صَبِيحَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةِ مِثْلَ الطَّسْتِ لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ حَتَّى تَرْتَفِعَ ) (صحيح)

”Shubuh hari dari malam lailatul qadar matahari terbit tanpa sinar, seolah-olah mirip bejana hingga matahari itu naik.” (shahih)

Diambil dari pelajaran keduapuluh dari kitab Durus Syahri Ramadhan oleh Muhammad bin Syami Syaibah. Dialihbahasakan oleh Abu Razin Al Batawy

Sumber : arabic.web.id

ReadMore......

Puasa Syariat, Thoriqoh dan Hakikat

Syeikh Abdul Qodir Al-Jilany ( Dalam Kitab Sirrul Asror )

Puasa Syariat adalah menahan diri dari makan dan minum, dan dari berhubungan suami isteri di siang hari. Sedangkan Puasa Thoriqoh itu, mengekang seluruh tubuhnya dari hal-hal yang diharamkan, dilarang dan dicela, seperti ujub, takabur, bakhil dan sebagainya secara lahir maupun batin. Karena semua itu bisa membatalkan puasa thoriqoh.

Puasa syariat itu ada batas waktunya. Sedeangkan Puasa thoriqoh senantiasa abadi tak terbatas seumur hidupnya. Itulah yang disabdakan oleh Rasulullah saw:
“Betapa banyak orang berpuasa tetapi puasanya tidak lebih melainkan hanya rasa lapar…” (Hr. Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Karena itu disebutkan, betapa banyak orang berpuasa tetapi ia justru berbuka, dan betapa banyak orang yang berbuka (tidak puasa) namun ia berpuasa. Yakni menahan anggota badannya dari dosa-dosa, menahan diri dari menyakiti manusia secara fisik, seperti firman Allah Ta’ala dalam hadits Qudsy:
“Puasa itu untuk Ku dan Aku sendiri yang membalas pahala puasa.” (Hr. Bukhori)
“Bagi orang yang berpuasa mendapatkan dua kegembiraan: kegembiraan ketika berbuka, dan kegembiraan ketika memandang Keindahan Ku.”

Bagi Ulama syariat dimaksud dengan berbuka adalah makan ketika matahari maghrib, dan melihat bulan  di malam Idul Fitri. Sedangkan ahli thoriqoh menegaskan bahwa berbuka itu akan diraih ketika masuk syurga dengan memakan kenikmatan syurga, dan kegembiraan ketika memandang Allah swt. Yaitu ketika bertemu dengan Allah Ta’ala di hari qiyamat nanti, dengan pandangan rahasia batin secara nyata.
Sedangkan Puasa Hakikat adalah puasa menahan hati paling dalam dari segala hal selain Allah Ta’ala, menahan rahasia batin (sirr) dari mencintai memandang selain Allah Ta’ala seperti disampaikan dalam hadits Qudsy:
“Manusia itu rahasiaKu dan Aku rahasianya.”
Rahasia itu bermula dari Nurnya Allah swt, hingga ia tidak berpaling selain Allah Ta’ala. Selain Allah Ta’ala, tidak ada yang dicintai atau disukai dan tak ada yang dicari baik di dunia maupun di akhirat.
Bila terjadi rasa cinta kepada selain Allah gugurlah puasa hakikatnya. Ia harus segera mengqodho puasanya, yaitu dengan cara kembali kepada Allah swt dan bertemu denganNya. Sebab balasan Puasa Hakikat adalah bertemu Allah Ta’ala di akhirat.
Sumber : Sufinews.com

ReadMore......

Orang Sufi anti Syurga dan Tidak Takut Neraka?





Diantara tuduhan yang dilontarkan kepada kaum Sufi, bahawa dalam tasawuf, seorang Sufi itu tidak mau syurga dan tidak takut neraka. Padahal Rasulullah pernah berharap syurga dan dihindarkan dari neraka. Rasulullah masih demikian, kenapa kaum Sufi enggan dengan syurga dan tidak takut neraka?

Tuduhan dan pertanyaan berikutnya seputar syurga dan neraka, bahawa kaum Sufi dalam tujuannya untuk beribadah hanya kepada Allah, tidak menuju syurga dan tidak menghindar dari neraka, dianggap sebagai akidah yang salah. Padahal dalam ayat Al-Qur’an disebutkan, “Makan dan minumlah (di syurga) dengan nikmat yang disebabkan oleh amal yang telah kamu kerjakan di hari-hari yang lampau….” (al-Haaqqah, 24) . Jadi kaum Sufi pandangannya bertentangan dengan ayat tersebut.


JAWABAN :

Dalam Al-Qur’an dan Hadits soal syurga dan neraka disebut berkali-kali dalam berbagai ayat dan surah. Tentu saja, sebagai janji dan peringatan Allah swt. Namun memahami ayat tersebut atau pun hadits Nabi saw, harus dilihat dari berbagai sudut pandang, tidak sekadar ayat atau teks hadits saja.
Contoh soal rasa takut. Dalam Al-Qur’an disebut beberapa kali bentuk takut itu. Ada yang menggunakan kata Taqwa, ada yang menggunakan kata Khauf dan ada pula Khasyyah, dan berbagai bentuk kata yang ditampilkan Allah Ta’ala yang memiliki hubungan erat dengan bentuk takut itu sendiri, sesuai dengan kapasitas hamba dengan Allah Ta’ala. Makna takut dengan penyebutan yang berbeza-beza itu pasti memiliki dimensi yang berbeza pula, khususnya dalam responsi psikhologi keimanan yang berbeza-beza antara satu dengan yang lainnya, berkaitan dengan getaran dan darjat keimanan seseorang.

Begitu juga kata Jannah dan Naar, syurga dan neraka. Penekanan-penekanan kata Naar dalam Al-Qur’an juga memiliki struktur hubungan yang berbeza. Naar disebutkan untuk orang kafir, memiliki tekanan berbeza dengan orang munafik, orang fasik, dan orang beriman yang ahli maksiat. Itu bererti berhubungan dengan kata Naar, yang disandarkan pada macam-macam ruang neraka: Ada Neraka Jahim, Neraka Jahanam, Neraka Sa’ir, Neraka Saqar, Neraka Abadi, dan penyebutan kata Naar yang tidak disandarkan pada sifat neraka tertentu.

Jika Naar kita maknakan secara umum, justeru menjadi zalim, kerana faktanya tidak demikian. Hal yang sama jika para Sufi memahami Naar dari segi hakikatnya neraka, juga tidak boleh disalahkan. Apalagi jika seseorang memahami neraka itu sebagai api yang berkobar.

Kalimat Naar tanpa disandari oleh Azab, juga berbeza dengan Neraka yang ansickh belaka. Misalnya kalimat dalam ayat di surah Al-Baqarah, “Wattaqun Naar al-llaty waquduhannaasu wal-Hijarah” dengan ayat yang sering kita baca, “Waqinaa ‘adzaban-Naar,” memiliki dimensi berbeza. Ayat pertama, menunjukkan betapa pada umumnya manusia, kerana didahului dengan panggilan Ilahi ”Wahai manusia”. Maka Allah langsung membuat ancaman serius dengan menyebutkan kata Naar. Tetapi pada doa seorang beriman, “Lindungi kami dari siksa neraka,” maknanya sangat berbeza. Kerana yang terakhir ini berhubungan dengan kelayakan keimanan hamba kepada Allah, bahawa yang ditakuti adalah Azabnya neraka, bukan apinya. Sebab api tanpa azab, jelas tidak panas, seperti api yang membakar Ibrahim as.

Oleh sebab itu, jika seorang Sufi menegaskan keikhlasan ubudiyahnya hanya kepada Allah, memang demikian perintah dan kehendak Allah. Bahawa seorang mukmin menyembah Allah dengan harapan syurga dan ingin dijauhkan neraka, dengan perpekstifnya sendiri, tentu kelayakan keikhlasannya di bawah yang pertama. Dalam berbagai ayat mengenai Ikhlas, sebagai Roh amal, disebutkan agar kita hanya menyembah Lillahi Ta’ala. Tetapi kalau punya harapan lain selain Allah termasuk di sana harapan syurga dan neraka, sebagai bentuk kenikmatan fizik dan siksa fizik, itu juga diterima oleh Allah. Namun, kelayakannya adalah bentuk responsi mukmin pada syurga dan neraka paling rendah.

Semua mengenal bagaimana Allah membangun contoh dan perumpamaan, baik untuk menjelaskan dirinya, syurga mahupun neraka. Kaum Sufi memilih perumpamaan paling hakiki, kerana perumpamaan neraka yang paling rendah sudah dilampauinya. Sebagaimana kualiti moral seorang pekerja di tempat kerja juga berbeza-beza, walau pun teknik dan cara kerjanya sama.

Orang yang bekerja hanya mencari wang dan untung, tidak boleh mencaci dan mengecam orang yang bekerja dengan mencintai pekerjaan dan mencintai ketuanya tersebut. Walau pun cara bekerjanya sama, namun kualiti moral dan jadual kerjanya yang berbeza. Bagi seorang ketua yang bijaksana, pasti ia lebih mencintai pekerja yang didasari oleh motivasi cinta yang luhur pada pekerjaan, perusahaan dan mencintai dirinya, dibandingkan dengan para pekerja yang hanya mencari untung belaka, sehingga mereka bekerja tanpa roh dan spirit yang luhur.

Kerana itu syurga pun demikian. Persepsi syurga bagi kaum Sufi memiliki kelayakan rohani dan spiritual yang berbeza dengan persepsi syurga kaum awam biasa. Hal yang sama persepsi mengenai bidadari. Bagi kaum Sufi bidadari yang digambarkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, adalah Tajalli (penampakan) sifat-sfat dan Asma Kemahaindahan Ilahi, yang tentu saja berbeza dengan kaum awam yang dipersepsi sebagai kenikmatan biologi seksual haiwan.

Syurga bagi kaum Sufi adalah Ma’rifatullah dengan darjat kema’rifatan yang berbeza-beza. Kerana nikmat tertinggi di syurga adalah Ma’rifat Dzatullah. Jadi kalimat Rabi’ah Adawiyah tentang ibadah tanpa keinginan syurga adalah syurga fizik dengan kenikmatan fizik yang selama ini kita persepsikan. Dan hal demikian memang boleh menjadi penghalang (hijab) antara hamba dengan Allah dalam proses kema’rifatan.

Bahkan Allah pun membagi-bagi syurga dengan simbol berbeza-beza, ada Jannatul Ma’wa, Jannatul Khuldi, Jannatun Na’im, Jannatul Firdaus, yang tentu saja menunjukkan kelayakan yang bersifat lahiriyah mahupun bathiniyah. Bagi orang beriman yang masih bergelimang dengan nafsunya, maka persepsi tentang nikmat syurga, adalah pantulan nafsu haiwaninya dan syahwatnya, lalu persepsi kesenangan duniawi ingin dikorelasikan dengan rasa nikmat syurgawi yang ideal dengan syahwatiyah.

Rabi’ah Adawiyah dan para Sufi lainnya ingin membersihkan jiwa dan hatinya dari segala bentuk dan motivasi selain Allah yang boleh menghambat perjalanan menuju kepada Allah. Dengan bahasa seni yang indah dan tajam, mereka hanya menginginkan Allah, bukan menginginkan makhluk Allah. Amaliyah di dunia sebagi visa syurga hanyalah untuk menentukan kelayakan syurgawnya, bukan sebagai kunci masuk syurganya. Kerana hanya Fadhal dan RahmatNya saja yang menyebabkan kita masuk syurga. “kerana Fadhal dan Rahmat itulah kamu sekalian bergembira…” Demikian dalam Al-Qur’an. Bukan gembira kerana syurgaNya.

Syurga dan neraka adalah makhluk Allah. Apakah seseorang boleh wushul (sampai kepada) Allah, manakala perjalanannya dari makhluk menuju makhluk? Apakah itu tidak lebih dari sapi atau khimar yang menjalankan roda gilingan, yang berputar-putar terus menerus tanpa tujuan?
Nah anda boleh merenungkan sendiri, betapa tundingan-tundingan mereka yang anti tasawuf soal persepsi syurga dan neraka ini, boleh terbantahkan dengan sendirinya, tanpa harus berdebat lebih panjang.

Hanya mereka yang tolol dan bodoh saja, jika ada ucapan seperti ini dikecam habis, “Tuhanku, hanya engkau tujuanku, dan hanya ridloMulah yang kucari. Limpahkan Cinta dan Ma’rifatMu kepadaku…” Ucapan yang menjadi munajat para Sufi. Lalu mereka mengecam ucapan ini, sebagai bentuk anti syurga dan tak takut neraka?

Sumber : Jalansufi.com


ReadMore......